Kamis, 10 Februari 2011

Pengendalian Waste Besi Tulangan dengan Software Optimasi Waste Besi (SOWB) 1

Waste atau sampah dalam konteks pengendalian biaya material proyek berarti sisa material yang sudah tidak dapat dipakai lagi. Pada proyek gedung, waste material ini merupakan masalah yang penting. Pelaku konstruksi sering tidak menyadari betapa waste ini telah membuat biaya proyek menjadi tidak terkendali sehingga terjadi pembengkakan biaya / cost overrun. Mengenai berapa besaran waste itu sendiri, belum pernah diteliti secara spesifik di Indonesia. Sebagai gambaran, diberikan data suatu penelitian yang dilakukan oleh Farmoso, C.T. dalam Journal of Construction Engineering and Management.

No
Lokasi Penelitian
Sampling
Tahun
Nilai Waste
1
Inggris
114 proyek
1960-1970
2%-15%
2
Hongkong
32 proyek
1992-1993
2,4%-26,5%
3
Belanda
5 proyek
1993-1994
1%-10%
4
Australia
15 proyek
N/A
2,5%-22%
5
Brazil
3 proyek
1986-1987
11%-17%

Hasil penelitian di atas, menunjukkan bahwa nilai waste dapat mencapai >25%. Suatu nilai yang tidak terduga yang pasti akan membuat biaya pelaksanaan proyek naik cukup tinggi. Umumnya dalam proyek gedung, material besi beton merupakan material yang memiliki prosentase terhadap biaya tertinggi yaitu berkisar 20%-25%. Sehingga perhatian pada pengendalian waste besi beton pada proyek gedung menjadi layak dilakukan. Jika prosentase material besi adalah 25% dan terjadi waste sebesar 10% sedangkan nilai proyek dianggap Rp. 100 Milyad, maka terjadi over budget sebesar 10% x 25% x 100 M = 2.5 Milyard atau 2.5% terhadap Nilai Kontrak. Cukup fantastis!!!
Secara teori, waste of material terbagi dalam dua kategori yaitu:
  1. Direct Waste : Sisa material yang timbul diproyek karena rusak, hilang, dan tidak dapat dipakai lagi.
  2. Indirect Waste : Sisa material yang terjadi di proyek karena volume pemakaian melebihi volume yang direncanakan, sehingga tidak terjadi sisa material secara fisik di lapangan dan mempengaruhi biaya keseluruhan (hidden cost)
Berdasarkan teori ini, maka dapat disimpulkan bahwa umumnya waste besi tulangan merupakan indirect waste.
Besi tulangan merupakan material yang berfungsi struktural dan material yang bersama-sama  dengan beton menjadi beton bertulang yang berfungsi untuk menopang kekuatan bangunan. Besi tulangan diproduksi dalam bentuk batangan dengan panjang standart 12 m. Dalam pelaksanaannya, besi tulangan dipotong-potong sesuai design gambar struktur.  Potongan besi berdasarkan design gambar sudah barang tentu akan menghasilkan sisa hasil potongan. Kondisi ini menyebabkan akan terdapat waste karena sisa potongan tersebut sudah tidak terpakai lagi. Lebih lanjut bahwa dalam proses menentukan pola pemotongan apabila tidak dilakukan dengan memperhatikan sisa potongan yang terjadi, maka akan terjadi banyak potongan cukup panjang yang tidak dapat digunakan lagi. Suatu contoh diberikan di bawah ini:
Pada suatu bagian struktur bangunan, diperlukan potongan tulangan sesuai tabel

Panjang potongan (cm)
Jumlah potongan
Total (cm)
Total (Btg)
600
4
2400

400
6
2400

300
8
2400

Jumlah
18
7200
6

Untuk mendapatkan potongan besi tulangan di atas, dilakukan pemotongan terhadap besi tulangan utuh 12 m dalam dua cara / pola pemotongan, yaitu:

Cara pola potong 1:
2 batang besi tulangan utuh dipotong 2 menjadi 600cm-600cm, sisa 0 cm
2 batang besi tulangan utuh dipotong 3 menjadi 400cm-400cm-400cm, sisa 0 cm
2 batang besi tulangan utuh dipotong 4 menjadi 300cm-300cm-300cm-300cm, sisa 0 cm
Cara / pola potong ini ditabelkan sebagai berikut:
Cara Pola Potong 1
Panjang (cm)
Jmh sisa (cm)
Batang ke
Pot. 1
600 cm
Pot. 2
400 cm
Pot. 3
300 cm
1-2
2
0
0
2400
2x0
3-4
0
3
0
2400
2x0
5-6
0
0
4
2400
2x0
Jumlah
4 pot.
6 pot.
8 pot.
7200
0
Waste cara pola potong 1 = 0%

Cara pola potong 2:
4 btg besi tulangan utuh dipotong 2 menjadi 600cm-400cm, sisa 200 cm sebanyak 4 batang atau total 800 cm

1 btg besi tulangan utuh dipotong 3 menjadi 400cm-400cm-300cm, sisa 100 cm sebanyak 1 batang atau total sisa 100 cm

1 btg besi tulangan utuh dipotong 4 menjadi 300cm-300cm-300cm-300cm, sisa 0 cm
1 btg besi tulangan utuh dipotong 3 menjadi 300cm-300cm-300cm, sisa 300 cm sebanyak 1 batang atau total sisa 300 cm
 Cara / pola potong ini ditabelkan sebagai berikut:
Cara Pola Potong 2
Panjang (cm)
Jmh sisa (cm)
Batang ke
Pot. 1
600 cm
Pot. 2
400 cm
Pot. 3
300 cm
1-4
1
1
0
4000
4x200
5
0
2
1
1100
1x100
6
0
0
4
1200
0
7
0
0
3
900
1x300
Jumlah
4 pot.
6 pot.
8 pot.
7200
1200
Waste cara pola potong 2 = 1200 / 7200 = 16,7%

Dua cara potong di atas menghasilkan nilai waste yang berbeda. Cara potong yang pertama menghasilkan waste 0%, sedangkan cara pola potong ke 2 menghasilkan waste 16,7%. Perbedaan ini menunjukkan bahwa ketidaktelitian dalam cara menentukan pola potongan tulangan akan membuat waste menjadi besar.
Mari kta telusuri lebih jauh. Dalam praktiknya pelaksana proyek menetukan pola potong berdasarkan prinsip pendekatan panjang potongan dipadankan sedemikian total panjang potongan yang dipadankan menjadi bulat 12 m sehingga tidak terjadi sisa. Contoh untuk satu batang tulangan 12 m dipotong dalam bentuk pola:
  • 600-600, 500-700, 400-800, 200-1000, 100-1100, dst, 
  • 200-400-600, 300-400-500, 400-400-400, 500-500-200, dst.  
  • 200-300-300-400, 100-300-400-400, 200-200-300-500, 200-200-400-400, dst. 
Cara potong ini dilakukan pada tahap awal. Pelaksana mendata data ukuran potongan yang mungkin akan dapat berpadanan sehingga membentuk pola yang menghasilkan total panjang 12 m. Cara potong ini, pada dasarnya cukup efektif untuk ukuran proyek yang kecil dan tidak komplek elemen strukturnya. Namun dengan cara ini sebenarnya waste tulangan tidak optimum.
Berikut ditunjukkan kesalahan yang mungkin terjadi yang menyebabkan waste tulangan akan menjadi besar:
Panjang potongan (cm)
Jumlah potongan
Total (cm)
Total (Btg)
300
8
2400

400
16
6400

750
16
12000

850
8
6800

Jumlah
48
27600
23

Pada kebutuhan potongan tulangan di atas, diperlukan total 48 potongan dengan panjang besi tulangan teoritis 23 batang. Berikut adalah ilustrasi pola potong yang terjadi selama ini oleh pelaksana di proyek.

Cara / pola potong Pelaksana / Existing:
Cara / Pola Potong Pelaksana / Existing
Sisa (cm)
Batang ke
Pot. 1    300 cm
Pot. 2    400 cm
Pot. 3    750 cm
Pot. 4    850 cm
1-5=5 btg
0
3
0
0
5x(1200-3x400)=0
6-7=2 btg
4
0
0
0
2x(1200-4x300)=0
8=1 btg
0
1
1
0
1x(1200-400-750)=50
9-16=8 btg
0
0
0
1
8x(1200-850)=2800
17-31=15 btg
0
0
1
0
15x(1200-750)=6750
Jumlah
8 pot.
16 pot.
16 pot.
8 pot.
9600
Waste cara pola potong Pelaksana / Existing = 9600 / 27600 = 34,78%

Cara / pola potong terbaik:
Cara / Pola Potong Pelaksana / Existing
Sisa (cm)
Batang ke
Pot. 1    300 cm
Pot. 2    400 cm
Pot. 3    750 cm
Pot. 4    850 cm
1-8=8 btg
1
0
0
1
8x(1200-300-750)=400
9-23=16 btg
0
1
1
0
16x(1200-400-850)=800
Jumlah
8 pot.
16 pot.
16 pot.
8 pot.
1200
Waste cara pola potong Pelaksana / Existing = 1200 / 27600 = 4,35%

Pada kasus di atas ternyata cara yang dilakukan saat ini oleh pelaksana menghasilkan waste yang lebih besar. Contoh ini mungkin terlalu sederhana (simulasi 48 potongan dengan 4 variasi ukuran potongan). Pada kenyataannya jumlah potongan yang dibuat di proyek jauh lebih besar dan dapat mencapai ribuan potong besi tulangan dengan variasi ukuran potongan mencapai puluhan variasi. Tentu ini bukan pekerjaan mudah untuk melakukan trial simulasi pola / cara potong terbaik untuk mendapatkan waste tulangan yang optimal apalagi oleh pelaksana di lapangan. Dibutuhkan waktu yang sangat lama untuk mendapatkan pola / cara potong yang terbaik. Perlu software untuk memudahkan pekerjaan ini!!!
Itulah awal dari terciptanya Software Optimasi Waste Besi (SOWB). SOWB dibuat dengan berdasarkan cara kerja pendekatan matematika algoritma yang dirancang untuk membantu mendapatkan cara pola potong yang optimal. Software ini dibangun dengan bahasa visual basic yang diimplant ke dalam microsoft excel. Digunakannya microsoft excel agar memudahkan dalam proses editing output yang mungkin cukup banyak agar ready to use. Ide untuk menggunakan algoritma matematika menurut merupakan ide yang akan menghasilkan pola potong dengan waste yang paling minimum yang mungkin dari sekian banyak pola potong yang mungkin terjadi. Sementara ini, software tampil dalam bentuk yang cukup sederhana karena lebih mementingkan fungsi yang didapat. Berikut tampilan bagian input dan bagian output dari SOWB.

Tampilan Input


Tampilan Output



Evaluasi Test Beton Berdasarkan ACI 318_02

Frekuensi Pelaksanaan Tes
Menurut ACI 318_02, frekuensi minimum untuk pengambilan sampel test kekuatan didasarkan atas dua kriteria yaitu kriteria per hari dan per proyek. Secara mudah, letak perbadaan kedua kriteria ini adalah pada jumlah tes yang dapat dihasilkan oleh suatu pekerjaan di proyek atau besar kecilnya proyek. Aturan ini hanya berlaku untuk suatu mutu beton saja. Dua kriteria yang dimaksud disimpulkan sebagai berikut;
1.        Jumlah Minimum Test Kekuatan Per hari (5.6.2.1):
a.        Satu kali per hari,
b.        Satu kali tiap 150 kubik yard (114,68 m3) dari beton yg dicor,
c.        Satu kali untuk tiap 5000 ft persegi (464,5152 m2) dari luas permukaan pelat dan dinding yg dicor.
(diambil nilai yang terbesar dari tiga point di atas)
2.        Jumlah Minimum Test Kekuatan Per Proyek (5.6.2.2):
a.        Lima test kekuatan dari lima truk mixer yang dipilih secara acak atau
b.        Dari tiap mixer jika kurang dari lima truk mixer.
Langkah awal untuk mulai menentukan frekuensi pelaksanaan tes adalah dengan mendata volume pengecoran, elemen struktur yang dicor dan rencana pengecoran harian. Data tersebut dikelompokkan berdasarkan mutu beton karena evaluasi beton dilakukan pada tiap mutu beton. Langkah kedua adalah dengan menghubungkan data tadi dengan kriteria pertama (kriteria per hari). Jika dengan data tersebut didapatkan jumlah / frekuensi tes kekuatan adalah lebih dari lima kali, maka digolongkan ke dalam kriteria pertama (per hari). Namun, jika sama dengan lima atau kurang maka digolongkan ke dalam kriteria kedua (per  proyek). Untuk volume dari suatu mutu beton dalam suatu proyek yang kurang dari 50 kubik yard (38,23 m3) maka test kekuatan tidak dibutuhkan jika bukti atas kekuatan yg memuaskan telah diijinkan dan disetujui oleh pengawas gedung (5.6.2.3). Contoh 1 dan 2 akan memberikan gambaran yang lebih jelas.
Suatu tes kekuatan merupakan rata-rata kekuatan dua silinder yang dibuat dari sampel yang sama dan dites pada umur 28 hari atau pada umur yang direncanakan untuk menentukan f’c (5.6.2.4). Sampel tersebut diambil berdasarkan “Method of Sampling Freshly Mixed Concrete”(ASTM C 172) dan dicetak serta dirawat dalam laboratorium sesuai dengan “Practice for Making and Curing Concrete Test Speciment in the Filed”(ASTM C 31) dan dites sesuai dengan “Test Method for Compressive Strength of Cylindrical Concrete Specimens”(ASTM C 39) (5.6.3.1 dan 5.6.3.2)
Harus dicatat bahwa secara normal, jumlah total silinder yang dicetak tidak akan melebihi aturan jumlah minimum untuk penerimaan kekuatan akhir. Namun, jumlah total untuk suatu proyek dapat termasuk silinder tambahan sebagai informasi (test umur 7 hari) awal kekuatan beton untuk pembongkaran bekisting, ditambah satu atau dua untuk cadangan. Sehingga untuk tiap test kekuatan, untuk memenuhi kebutuhan di atas dan unsur kehati-hatian, dapat terdiri atas 6 silinder dengan rincian 2 silinder untuk tes 28 hari atau umur yang direncanakan untuk menentukan f’c, 2 silinder untuk tes kekuatan beton saat bongkar bekisting dan 2 silinder untuk cadangan jika ada silinder yang rusak atau hasil tes menyimpang.

Penerimaan Beton
Hasil tes suatu mutu beton akan dianggap memuaskan bila kedua kriteria di bawah dipenuhi (5.6.3.3) :
A.      Semua rata2 dari tiga hasil test kekuatan yang berurutan harus paling sedikit sama dengan mutu beton yang disyaratkan, f’c
B.       Tidak ada satu hasil test kekuatan (rata2 kekuatan dari paling sedikit dua silinder dari satu truk mixer),
1.  Di bawah f’c lebih dari 500 psi (3,447 MPa) untuk f’c = 5000 psi (34,474 MPa) atau kurang
2.  Di bawah f’c lebih dari 0,10f’c , untuk f’c di atas 5000 psi (34,474 MPa).
(butir B.2 adalah tambahan pada ACI 318_02 yang lebih memberi tekanan pada kontrol kualitas pada beton mutu tinggi.).
Contoh 3 dan 4 akan memberikan gambaran yang lebih baik.

Benda uji yang dirawat di lapangan
Jika diperlukan oleh pengawas bangunan, hasil tes dari silinder yang dirawat di dalam kondisi lapangan harus disediakan (5.6.4.1). Perawatan benda uji tersebut sama dengan kondisi lapangan, dicetak pada waktu yang sama dan dari sumber sampel yang sama pula dengan benda uji yang dirawat di dalam laboratorium (5.6.4.2 dan 5.6.4.3). Prosedur untuk perlindungan dan perawatan beton harus ditingkatkan jika kekuatan benda uji yang dirawat di lapangan yang dites pada umur yang direncanakan untuk menentukan f’c kurang dari 85 persen terhadap benda uji yang dirawat di dalam laboratorium. Batasan 85 persen tidak digunakan jika kekuatan benda uji yang dirawat di lapangan melampaui f’c lebih dari 500 psi atau 3,447 MPa (5.6.4.4)

Penyelidikan atas Hasil test kekuatan yang rendah
Jika terdapat hasil tes untuk benda uji yang dirawat di laboratorium di bawah f’c lebih dari nilai seperti yang diberikan dalam 5.6.3.3.B atau jika hasil test terhadap silinder yang dirawat di lapangan menunjukkan penurunan perlindungan dan perawatan (lihat 5.6.4.4), langkah2 harus diambil untuk meningkatkan rata-rata hasil tes kekuatan dan menjamin kapasitas beban struktur tidak membahayakan (5.6.3.4 dan 5.6.5.1). Jika persyaratan 5.6.3.3.B tidak dipenuhi dan hasil perhitungan menunjukkan pengurangan kapasitas beban yang signifikan, dapat diijinkan untuk melakukan test core drill pada area yang dimaksudkan tersebut sesuai dengan “Method of  Obtaining and testing Drilled Cores and Sawed Beams Concrete” (ASTM C 42). Dalam berbagai kejadian, tiga cores (benda uji bor) diambil untuk masing-masing test kekuatan yang hasilnya dibawah nilai yang diberikan pada 5.6.3.3.B.
Benda uji bor tersebut disiapkan untuk dibawa dan disimpan dengan menghilangkan air sisa pengeboran dari permukaannya. Benda uji tersebut disimpan dalam tas kedap air dengan segera setelah pengeboran dan harus dites dalam waktu 48 jam hingga 7 hari kecuali disetujui oleh perencana profesional yang terdaftar (5.6.5.3)
Hasil test benda uji bor akan dianggap memadai secara struktural  jika rata-rata dari tiga benda uji bor adalah minimal 85 persen dari f’c dan tak ada satupun kurang dari 75 persen dari f’c (5.6.5.4). Jika tidak terpenuhi dan kemampuan struktur meragukan, maka pihak yang bertanggung jawab diijinkan untuk meminta evaluasi kekuatan sesuai dengan Bagian 20 (Strength Evaluation of Existing Structures) untuk bagian yang dimaksud dalam struktur atau dengan mengambil tindakan lain yang sepatutnya.

Contoh 1 – Frekuensi Pelaksanaan Tes
Suatu proyek dengan volume pengecoran adalah 200 yd3 (153 m3) per hari selama 7 hari, dibawa oleh truk mixer yang berkapasitas 10 yd3 (7,65 m3). Tentukan jumlah silinder yang diperlukan!
Perhitungan dan Pembahasan
1.        Total beton yg dicor di proyek adalah = 200 (7) = 1400 yd3 = 1070 m3
2.        Jumlah truk yg dibutuhkan adalah = 1400 / 10 = 140 bh
3.        Jumlah truk yg disyaratkan untuk diambil sampelnya per hari = 200 / 150 = 1.3 (diambil 2)
4.        Jumlah truk yg dibutuhkan untuk diambil sampelnya per proyek = 2 (7) = 14
5.        Total jumlah silinder yg dibutuhkan untuk dicetak untuk proyek = 14 (2 silinder/test) = 28 (minimum)
6.        Jumlah test kekuatan yang dibutuhkan untuk dicetak adalah lebih besar dari lima (14 test), sehingga masuk kategori proyek besar yang mengikuti aturan 5.6.2.1

Contoh 2 –  Frekuensi Pelaksanaan Tes
Tentukan jumlah minimum silinder test yg harus dicetak untuk memuaskan aturan frekuensi  minimum sampling untuk test kekuatan. Beton yang dicor dalam area pelat seluas ukuran 100 ft x 75 ft x 7,5 in (30,48 x 22,86 x 0,19 m). Dan dibawa oleh truk mixer yang berkapasitas 10 yd3.
Perhitungan dan pembahasan
1.        Total luas area pelat yg dicor adalah = 100 x 75 = 7500 ft2 = 697 m2.
2.        Total beton yg dicor dalam proyek ini = 7500 x 7.5 x 1/12 x 27 = 174 yd3 = 133 m3
3.        Total jumlah truk yg dibutuhkan = 174 / 10 = 18
4.        Jumlah truk yg diambil sampelnya yg dibutuhkan adalah = 174 / 150 = 1.2 dibulatkan 2 (5.6.2.1.b)
                                                                                            =  7500 / 5000 = 1.5 dibulatkan (5.6.2.1.c)
5.        Mengacu pada aturan 5.6.2.1, hanya menghasilkan 2 tes kekuatan (4 silinder tes), sehingga tergolong dalam kategori proyek kecil. Sehingga berdasarkan aturan 5.6.2.2, dari 18 truk mixer diambil 5 sampel tes kekuatan secara acak (10 silinder test).

Contoh 3 –   Penerimaan Beton
Berikut data test kekuatan dari 5 truk mixer beton. Untuk masing-masing truk mixer, dua silinder dicor dan ditest pada umur 28 hari. Kekuatan beton yg disyaratkan adalah 4000 psi. Tentukan penerimaan beton didasarkan pada kriteria kekuatan 5.6.3.3.
Test
Silinder 1 (psi)
Silinder 2 (psi)
Rata-rata (psi)
syarat min = f’c-500 psi = 3500 psi
Rata2 tiga hasil test yg berurutan (psi)
Syarat min. = f’c = 4000 psi
1
4110
4260
4185
-
2
3840
4080
3960
-
3
4420
4450
4435
4193
4
3670
3820
3745
4047
5
4620
4570
4595
4258
Perhitungan dan pembahasan
Rata2 dua silinder dari masing2 truk mixer menghasilkan satu nilai hasil test kekuatan. Walaupun ada hasil test yang kecil yaitu 3745 psi yang lebih rendah dari f’c = 4000 psi, beton dipertimbangkan untuk diterima karena tidak berada di bawah 500 psi dari nilai yg disyaratkan (4000-500 = 3500 psi). Kriteria kedua didasarkan atas rata2 tiga hasil test yg berurutan, dipenuhi oleh rata2 tiga hasil test yg ada. Nilai 4193 adalah rata2 dari tiga hasil test yg berurutan pertama : (4185+3960+4435)/3 = 4193 psi. Rata2 tiga hasil test yg berurutan kedua dihitung sebagai berikut: (3960+4435+3745)/3 = 4047 psi dan begitu seterusnya. Jadi berdasarkan aturan kriteria penerimaan untuk kekuatan beton, lima hasil test kekuatan dapat diterima.

Contoh 4  –  Penerimaan Beton
Berikut data test kekuatan dari 5 truk mixer beton. Untuk masing-masing truk mixer, dua silinder dicor dan ditest pada umur 28 hari. Kekuatan beton yg disyaratkan adalah 4000 psi. Tentukan penerimaan beton didasarkan pada kriteria kekuatan 5.6.3.3.
Test
Silinder 1
(psi)
Silinder 2
(psi)
Rata-rata (psi)
syarat min = f’c-500 psi = 3500 psi
Rata2 tiga hasil test yg berurutan (psi)
Syarat min. = f’c = 4000 psi
1
3620
3550
3585

2
3970
4060
4015

3
4080
4000
4040
3880*
4
4860
4700
4780
4278
5
3390
3110
3250**
4023
*      Rata-rata 3 hasil test yg berurutan, di bawah f’c
**    Satu hasil test berada di bawah lebih dari 500 psi terhadap nilai yg disyaratkan, f’c
Perhitungan dan pembahasan
Terlihat 3250** psi lebih rendah dari 3500 psi (4000-500 psi), dan 3880* lebih rendah dari f’c yakni 4000 psi. Menunjukkan beton tidak dapat diterima. Alasan utama hasil test beton yg rendah adalah (1) Pengambilan sampel dan pengetesan yang salah (2) Pengurangan kualitas beton karena produksi yang keliru, penambahan terlalu banyak air ke dalam beton karena keterlambatan pengecoran atau permintaan  beton dengan slump tinggi.
(Terjemahan ACI 318_02)